Kamis, 23 Agustus 2018

KETIMPANGAN RELASI DALAM PERNIKAHAN


Hubungan antara perempuan dan laki-laki merupakan sebuah perjalanan panjang pada bingkai rumah tangga. Bagaimana tidak, ketika memutuskan menikah dan mengucapkan ijab qabul, maka sebuah perjanjian besar telah terjadi antara laki-laki dengan Allah. Menyatukan dua keluarga besar dan beralihnya tanggung jawab ayah kepada suami. 
 
Banyak orang membayangkan bahwa perempuan menjadi pelayanan bagi suaminya kelak. Semua urusan domestik, tanpa butuh kesepakatan langsung menjadi tanggung jawab istri. Meskipun istri juga bekerja diranah publik. Kemudian ketika memiliki anak, semua urusan pengasuhan menjadi tanggung jawab ibu. 

Begitu besar beban yang akan dihadapi perempuan. Belum lagi membayangkan perempuan yang berada dalam lingkaran kemiskinan. Ketika saya mengunjungi sebuah daerah di salah satu kabupaten di Sumatera Barat yang menganut sistem patrilineal. Saya merasa sangat sedih. Saat itu seorang ibu menggendong anaknya, lalu membawa kayu bakar diatas kepala dan membawa satu tas di tangannya. Suaminya hanya membawa kayu bakar saja setelah itu suaminya berhenti di sebuah warung beristirahat. Sementara istri sesampainya di rumah harus menyiapkan makanan lagi untuk anak-anak mereka yang berjumlah 8 orang. 

Saya menanyakan mengapa ibu mau seperti ini? Lalu memiliki anak yang banyak sementara kondisi ekonomi benar-benar dibawah kata sejahtera. Menurut beliau, karena suami itu harus dimuliakan. Kemudian dalam pemahamannya suami harus dilayani dengan sebaik mungkin. Biarlah istri menerima beban 3 kali lipat asalkan suami bahagia. Saya terenyuh... Dengan anak yang banyak pada akhirnya anak-anak tidak menyelesaikan pendidikan formal. Dengan kondisi ekonomi yang sulit mengharuskan anak-anak bekerja membantu orang tua. Sementara suami jika dilihat dari waktu yang dia punya. Masih bisa berkumpul dengan teman-temannya di warung. 



Ada ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki pada ikatan pernikahan ini. Laki-laki menjadi pemilik dari perempuan. Sehingga dia bebas melakukan apapun yang dia mau, sementara perempuan harus mengikuti seperti maunya laki-laki.

Cerita ini saya sampaikan ketika sosialisasi perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan, bersama P2TP2A Kabupaten.  Bapak-bapak yang hadir saat itupun tidak mampu menyela kebiasaan yang terjadi. Mereka hanya diam dan seakan-akan mengaminkan perkataan saya. Ketika saya masuk dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga yang berawal dari beban kerja ibu yang banyak itu. Bapak-bapak malah menyalahkan ibu-ibu. Menurut mereka ibu-ibu ini terlalu banyak bicara, sehingga kadang memunculkan pertengkaran didalam. Padahal kondisi psikologis ibu dengan beban yang besar itulah membuat ibu lelah dan emosi menjadi tidak stabil. 

Saya juga menanyakan apakah bapak-bapak mau membantu kegiatan domestik dirumah? Serentak mereka hanya tertawa dan mengatakan itulah tugas perempuan. Argh.... Saya menyadari bahwa pola pikir patriakhi yang tertanam lama dalam dirinya serta dilegalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk kebiasaan turun temurun. Menjadikan itu sebuah kebenaran. Membantu perempuan untuk urusan domestik adalah sebuah pelanggaran dan diluar kebiasaan yang ada. Tidak ada pula laki-laki yang mau melakukan karena mereka mengkhawatirkan akan dibully oleh teman-temannya di warung.
Apakah benar Allah menginginkan hal seperti ini relasi antara perempuan dan laki-laki dalam ikatan pernikahan?? Lalu apakah benar hal yang demikian dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW?? Tentu saja jawabannya tidak. Banyak literatur yang menjelaskan bahwa Rasulullah juga membantu Aisyah urusan domestik. Namun, kebanyakan dari masyarakat kita tidak tahu itu. Karena mereka hanya memahami potongan dari surat An-Nisa’, ayat 34 sebagai berikut :
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ
“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita)...

Membaca potongan ayat tanpa melihat sebab turunnya ayat tersebut, kemudian disampaikan oleh ustadz-ustadz saat ceramah kepada masyarakat awam. Maka yang akan ditangkap oleh masyarakat saat itu adalah, bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Hanya sebatas itu saja, lalu digeneralisir kesemua relasi antara laki-laki dan perempuan tanpa melihat situasi dan kondisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar