Hubungan antara perempuan
dan laki-laki merupakan sebuah perjalanan panjang pada bingkai rumah tangga.
Bagaimana tidak, ketika memutuskan menikah dan mengucapkan ijab qabul, maka
sebuah perjanjian besar telah terjadi antara laki-laki dengan Allah. Menyatukan
dua keluarga besar dan beralihnya tanggung jawab ayah kepada suami.
Banyak orang membayangkan
bahwa perempuan menjadi pelayanan bagi suaminya kelak. Semua urusan domestik, tanpa butuh kesepakatan
langsung menjadi tanggung jawab istri. Meskipun istri juga bekerja diranah
publik. Kemudian ketika memiliki anak, semua urusan pengasuhan menjadi tanggung
jawab ibu.
Begitu besar beban yang
akan dihadapi perempuan. Belum lagi membayangkan perempuan yang berada dalam
lingkaran kemiskinan. Ketika saya mengunjungi sebuah daerah di salah satu
kabupaten di Sumatera Barat yang menganut sistem patrilineal. Saya merasa
sangat sedih. Saat itu seorang ibu menggendong anaknya, lalu membawa kayu bakar
diatas kepala dan membawa satu tas di tangannya. Suaminya hanya membawa kayu
bakar saja setelah itu suaminya berhenti di sebuah warung beristirahat.
Sementara istri sesampainya di rumah harus menyiapkan makanan lagi untuk
anak-anak mereka yang berjumlah 8 orang.
Saya menanyakan mengapa
ibu mau seperti ini? Lalu memiliki anak yang banyak sementara kondisi ekonomi
benar-benar dibawah kata sejahtera. Menurut beliau, karena suami itu harus
dimuliakan. Kemudian dalam pemahamannya suami harus dilayani dengan sebaik
mungkin. Biarlah istri menerima beban 3 kali lipat asalkan suami bahagia. Saya
terenyuh... Dengan anak yang banyak pada akhirnya anak-anak tidak menyelesaikan
pendidikan formal. Dengan kondisi ekonomi yang sulit mengharuskan anak-anak
bekerja membantu orang tua. Sementara suami jika dilihat dari waktu yang dia
punya. Masih bisa berkumpul dengan teman-temannya di warung.
Ada ketimpangan relasi
antara perempuan dan laki-laki pada ikatan pernikahan ini. Laki-laki menjadi pemilik dari perempuan. Sehingga
dia bebas melakukan apapun yang dia mau, sementara perempuan harus mengikuti
seperti maunya laki-laki.
Cerita ini saya sampaikan
ketika sosialisasi perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan, bersama
P2TP2A Kabupaten. Bapak-bapak yang hadir
saat itupun tidak mampu menyela kebiasaan yang terjadi. Mereka hanya diam dan
seakan-akan mengaminkan perkataan saya. Ketika saya masuk dalam konteks
kekerasan dalam rumah tangga yang berawal dari beban kerja ibu yang banyak itu.
Bapak-bapak malah menyalahkan ibu-ibu. Menurut mereka ibu-ibu ini terlalu banyak
bicara, sehingga kadang memunculkan pertengkaran didalam. Padahal kondisi
psikologis ibu dengan beban yang besar itulah membuat ibu lelah dan emosi
menjadi tidak stabil.
Saya juga menanyakan
apakah bapak-bapak mau membantu kegiatan domestik dirumah? Serentak mereka
hanya tertawa dan mengatakan itulah tugas perempuan. Argh.... Saya menyadari
bahwa pola pikir patriakhi yang tertanam lama dalam dirinya serta dilegalkan
dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk kebiasaan turun temurun. Menjadikan itu sebuah
kebenaran. Membantu perempuan untuk urusan domestik adalah sebuah pelanggaran
dan diluar kebiasaan yang ada. Tidak ada pula laki-laki yang mau melakukan
karena mereka mengkhawatirkan akan dibully oleh teman-temannya di warung.
Apakah benar Allah menginginkan
hal seperti ini relasi antara perempuan dan laki-laki dalam ikatan pernikahan??
Lalu apakah benar hal yang demikian dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW?? Tentu saja
jawabannya tidak. Banyak literatur yang menjelaskan bahwa Rasulullah juga
membantu Aisyah urusan domestik. Namun, kebanyakan dari masyarakat kita tidak
tahu itu. Karena mereka hanya memahami potongan dari surat An-Nisa’, ayat 34
sebagai berikut :
ٱلرِّجَالُ
قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ
“Kaum pria
adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(pria) atas sebagian yang lain (wanita)...”
Membaca potongan ayat tanpa melihat sebab turunnya
ayat tersebut, kemudian disampaikan oleh ustadz-ustadz saat ceramah kepada
masyarakat awam. Maka yang akan ditangkap oleh masyarakat saat itu adalah,
bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Hanya sebatas itu saja, lalu
digeneralisir kesemua relasi antara laki-laki dan perempuan tanpa melihat
situasi dan kondisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar