Rabu, 13 November 2013

ENTAH



Kadang berbicara soal realitas membuat kita sulit mengungkapkan apa yang menjadi keharusan, karena selalu saja berbenturan dengan kondisi yang ada. Realitas seperti apa yang hendak kita kemas? Mengemasnya pun kita tidak mampu sesungguhnya. Hanya corak yang mampu kita berikan untuk sebuah bahasa perubahan. Tidak banyak memang, namun ini menjadi bagian dari persimpangan untuk berubah. Terkadang kita juga menjadi besar kepala dengan apa yang telah kita lakukan. Ah.... semacam tuan tanah juga pada akhirnya.

Ingin memang menjalin hubungan erat dengan aksi perubahan, namun tuntutan berkata lain. Entah memang terpenjara oleh sistematika kehidupan masyarakat awam atau memang sengaja memenjara diri dalam sangkar yang sudah ada. Alasan yang berkedok bahwa “hidup adalah pilihan” menjadi tameng paling kuat untuk situasi seperti ini. Kalau lah Budi Oetomo ketika muda tidak berani melakukan perlawanan terhadap penjajahan dengan strategi perang yang berbeda dengan yang lainnya. Mungkin hari ini kita masih berada dibawah kekuasaan belanda. Kita generasi “manja”, mungkin? Tapi jauh dari pada itu, kita adalah generasi kuat sesungguhnya. Kita berperang tidak dengan penjajah, kita berperang dengan penjajah dari dan dinegeri kita sendiri.

Agenda perubahan terbesar tidak lagi berada pada tataran masyarakat sesungguhnya, tapi berada pada tataran elit. Elit yang harus berubah. Mengubah paradigma berfikir, bukan lagi paradigma penguasa. Hari ini elit memandang dirinya adalah penguasa dan memiliki otoritas atas apa yang disandangnya. Elit tidak lagi menjadi penyambung lidah masyarakatnya, namun menjadi aktor yang menindas masyakaratannya.

Payakumbuh, 12 November 2013