Kamis, 21 September 2017

Poligami : Bisakah Berlaku Adil??


Pengalaman hidup bersama keluarga POLIGAMI selama kurang lebih 17 tahun, memiliki ketakutan tersendiri ketika memberanikan diri untuk menikah. Saya juga tidak mengetahui bagaimana saya bisa memutuskan MENIKAH di usia 24 tahun 10 bulan, sebelumnya sempat terfikir untuk tidak akan menikah selamanya. Saya memandang laki-laki ketika itu hanya menambah beban hidup bagi perempuan, karena itu yang terjadi disekitar saya. Kakek dari mama memiliki 2 istri, walupun istri pertama diceraikan terlebih dahulu. Saudara laki-laki mama berpoligami dan keluarga serta anak-anak hancur masa depannya. Sepupu laki-laki saya selalu bertengkar luar biasa dengan istrinya, karena memiliki Perempuan Idaman Lain (PIL). dari usia 10 tahun saya sudah melihat bagaimana kondisi-kondisi keluarga yang hancur karena POLIGAMI. 


Saya melihat bagaimana kekerasan itu menghancurkan rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga itu. Saya mengalami bagaimana kekerasan itu menyimpan dendam yang sangat luar biasa pada sosok laki-laki yang diberi gelar "PAPA". Ketika itu saya memandang laki-laki tidak boleh disalahkan, semua yang dia lakukan adalah sebuah kebenaran. Saya pernah berdialog dengan PAPA soal POLIGAMI dan beliau menjawab dengan sederhana. "Rasulullah saja memiliki istri yang banyak, dalam agama punya istri itu bisa sampai 4," itu kata beliau. Saya yang masih sekolah di SMP, kebetulan kami disekolahkan di SMP Islam di kota kami.  Saya langsung menjawab,"Salah satu syarat penting dalam POLIGAMI itu adalah Berlaku Adil, apakah BISA?". Beliau dengan lantang menjawab,"BISA!!". Saya hanya diam dan mencatat dengan huruf paling besar didalam hati ini, bahwa itu TIDAK AKAN PERNAH DAN TIDAK AKAN MUNGKIN TERJADI SAMPAI KAPANPUN!

Berdalih dengan agama kemudian membuat PAPA punya power untuk tetap menjalankan POLIGAMI. Saya yang masih anak bawang pun tidak bisa melawan dengan dalih agama juga. Etahlah, ketika itu saya dengan posisi tidak berdaya dan tidak punya argumentasi lain untuk membantah itu.  

Satu hal yang perlu dicatat adalah pola relasi antara papa dan mama itu merupakan relasi yang timpang. sebagai laki-laki berkuasa penuh terhadap perempuan dan perempuan apa pun kondisi dan situasinya harus menerima itu semua. 

Ketika bercerita soal relasi yang timpang, 
saya terus berfikir bagaimana menciptakan bersama relasi yang setara???





Trauma saya hidup dengan keluarga POLIGAMI ini, sampai hari ini pun belum selesai sesungguhnya. Ada kondisi-kondisi saya berhadapan dengan suami yang mirip dengan papa. Tanpa sadar saya akan bilang,"kamu sama aja dengan papa!". Walaupun dia akan selalu bilang,"Jangan sama kan saya dengan papa kamu". Pada dasarnya tidak ada satupun orang yang bisa menerima untuk dibanding-bandingkan dengan orang lain.

Begitulah kondisi pengalaman masa kecil dengan seluk beluk trauma yang luar biasa dan tidak pernah diselesaikan sebelumnya. Pada akhirnya ini menjadi bayang-bayang buruk  untuk menjalani kehidupan masa depan.

Berjuang untuk melatih emosi, kemarahan, keikhlasan, tauma masa lalu sendiri itu sangat sulit. Saya menyadari bahwa butuh support group untuk ini, namun sampai hari ini saya belum menemukan satu komunitaspun yang fokus pemulihan untuk anak-anak korban kekerasan didalam rumah tangga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar