27 tahun saya menikmati kehidupan didunia
dengan segala bentuk sensasi yang dirancang oleh allah. Semua aktifitas
keluarga saya sudah pahami hari ini, namun saya tidak mampu mencermati dan
memahmi menyoal peran ayah dirumah seperti yang dikonstruksi oleh masyarakat.
Bahwa laki-laki yang Status nya sebagai seorang ayah akan berperan sebagai
kepala keluarga yang nantinya bertanggung jawab pada nafkah untuk keluarganya.
Semudah itu ternyata tugas seorang ayah, tidak perlu dia memikirkan apa yang
harus dipersiapkan dirumah, tidak perlu juga memikirkan bagaimana pendidikan
anak nya, tidak juga akan disibukan oleh tugas-tugas rumah yang menguras waktu
serta tenaga. Hanya itu perannya, bekerja diluar rumah mendapatkan penghasilan.
Kemudian penghasilannya diberikan kepada istri, selanjutnya proses managemennya
ditangan istri. Terlalu mudah untuk semua itu sepertinya, tapi itulah realita
yang terjadi dalam masyarakat. Tanpa membuka private sebagai ibu atau istri
pun, peran yang demikian secara alami disengaja hadir ditengah-tengah kita.
Kenapa saya bilang ini alami disengaja, karena ini kesannya alamiah terjadi.
Namun, sesungguhnya sudah ada proses penanaman nilai tersebut dalam diri masing-masing
individu berdasarkan pengalamannya dilingkungan sosial.
Bentukan masyarakat yang mengatakan laki-laki
adalah orang yang akan memenuhi segala kebutuhan keluarga sehingga di harus
bekerja diluar rumah. Saya tidak menemukan konstruksi sosial seperti ini dalam
keluarga. Saya tidak menjumpai yang namanya ayah banting tulang untuk mengumpulkan
recehan yang berserak dimuka bumi ini. Saya juga tidak pernah menemukan ayah
seharian bekerja diluar rumah dan kemudian memberikan uang untuk istri dan
anak-anaknya setiap hari.
19 tahun saya melihat bahwa yang banting tulang
mencukupi kebutuhan rumah tangga itu adalah ibu, bukan ayah sekali lagi bukan
ayah. Saya heran sebenarnya ketika kami pagi2 pergi sekolah, ayah masih asyik
dalam dunia mimpinya. Dia masih berteman dengan bantal dan selimut. Sementara
ibu sudah mulai mengurus kami yang akan sekolah dan stelah itu melanjutkan
pekerjaannya untuk mengumpulan puing-puing receh yang nantinya digunakan untuk
mengganjal cacing yang demo dalam perut kami. Ayah itu juga tidak melakukan
pekerjaan rumah, dia hanya bagun dari tempat tidur. Lalu pergi keluar rumah
dengan baju yang rapi dan pulang pun tidak bawa apa-apa, ibu juga tidak ribut.
Lucu memang pasangan ini. Tapi anehnya, masyarakat tidak mempertanyakan itu.
Tidak ada juga kontrol dari nilai yang ada pada masyarakat untuk peran seorang ayah.
Aneh memang. Saya pun mempertanyakannya sejak lama, apa pekerjaan ayah???
Karena setiap mengisi blangko di sekolah pada bagian pekerjaan ayah, saya
selalu saja tidak tahu apa yang mau ditulis. karena saya tidak tahu apa yang
dilakukan ayah ketika keluar rumah dan pulang pun tidak ada membawa apa-apa.
Tempat dia bekerja pun tidak ada. Saya juga malu mengatakan kalau dia
pengangguran tingkat dewa. Karena semua ayah kawan-kawan saya punya pekerjaan
dan mereka mengetahui itu. Lantas saya??? Sampai saya berfikir, bagaimana kalau
tidak ada kolom yang menanyakan soal pekerjaan ayah. karena itu akan memancing
untuk saya harus berbohong, saya akan menulis apa yang tidak dia kerjakan.
Lagi-lagi menyelamatkan reputasinya sebagai ayah yang dikonstruksi oleh
masyarakat. Orang tidak pernah dan tidak akan tahu apa yang terjadi dalam
keluarga kami. Karena ibu selalu berhasil menutupi kurangnya ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar