Perempuan Melawan Diskriminasi
Pada
masayarakat dunia kita kenal dengan istilah gerakan feminis, gerakan ini muncul
setelah revolusi industri di Prancis. Dimana perempuan menuntut kesetaraan
gender dengan laki-laki dan melibatkan perempuan dalam politik. Gerakan ini
terus bergulir sampai pada akhirnya lahirlah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap perempuan yang dikenal dengan CEDAW. CEDAW sudah
diratifikasi oleh Indonesia melalui undang-undang nomor 7 tahun1984.
Pada
tahun 2000 lahir Millenium Development
Goals (MDGs) yang tertuang dalam Deklarasi Milenium dan merupakan
kesepakatan kepala negara dan 189 negara anggota PBB yang tertuang dalam.
Adapun
tujuan dalam MDGs ini antara lain :
- Menanggulangi
kemiskinan dan kelaparan
- Mencapai
pendidikan dasar untuk semua
- Mendorong
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
- Menurunkan
angka kematian anak
- Meningkatkan
kesehatan ibu
- Memerangi
HIV/AIDS, Malaria dan penyakit menular lainnya
- Memastikan
kelestarian lingkungan hidup
- Mengembangkan
mitra global untuk pembangunan
Tidak
hanya sebatas itu, pada tahun 2000 juga dikeluarkan Instruksi Presiden terkait
Pengarus Utamaan Gender dalam program pemerintah. Artinya pemerintah selalu
terlibat dalam isu-isu global yang bersentuhan langsung dengan perempuan.
Gerakan-gerakan
yang lahir tersbeut dan regulasi yang dihasilkan, menimbulkan pertanyaan
sederhana. Apa yang terjadi selama ini terhadap perempuan? Mengapa PBB harus
memasukan poin terkait gender dalam deklarasi milenium? Akan banyak
pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang muncul difikiran kita.
Kesalahan Dalam Memandang Perempuan
Kita
selama ini lupa bahwa, ada yang pemahaman yang keliru ketika kita memandang
individu yang bernama “perempuan”. Selama ini perempuan dipandang sebelah mata
atau hanya sebagai pelengkap dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan posisinya
dipandang dibawah posisi laki-laki dan kemudian sangat rentan untuk mendapatkan
diskriminasi dari laki-laki.
Budaya
patriakhi membuat perempuan menjadi second
line ditengah-tengah masyarakat. Masyarakat selalu memberikan steorotype, bahwa perempuan harus
mengurus rumah tangga, memasak didapur, mengurus anak dirumah, mencuci pakaian
dan melayani suami. Semua urusan domestik merupakan tugas dan tanggung jawab
bagi perempuan. Dahulu perempuan hanya fokus dirumah saja, tidak ada kesempatan
dan waktu bagi perempuan untuk beraktifitas diluar rumah. Karena dahulu
perempuan yang bekerja diluar rumah diberikan label sebagai “perempuan yang
tidak baik” atau “perempuan yang tidak taat pada suami”.
Kita
juga bisa lihat pada zaman sebelum kemerdekaan, bagaimana perempuan disiksa dan
tidak diperlakukan sebagai manusia oleh laki-laki. Hal kecil saja, perkara
pendidikan untuk perempuan. Tidak henti-hentinya R.A Kartini menyuarakan bahwa
pendidikan bagi perempuan penting. Kartini mengalami hal yang serupa, dimana
dia menjadi perempuan yang dibungkam cita-citanya. Kartini hanya bersekolah
sampai umur 12 tahun dan kemudian dia dipingit dirumah. Kemudia Kartini
dinikahkan oleh orang tuanya dengan laki-laki yang sudah memiliki istri. Untuk
mengisi hari-harinya Kartini menjaling hubungan korespondensi dengan
teman-temannya di negeri Belanda. Kartini sangat tertarik dengan kemajuan
perempuan dibelanda dan benua eropa. Sehingga dia ingin mewujudkan sekolah
untuk perempuan di Indonesia. Keinginnan Kartini ini didukung oleh suaminya dan
lahirlah sekolah perempuan pertama di rembang.
Gerakan
emansipasi wanita yang digaungkan oleh kartini ini lah yang kemudian membuka
wawasan laki-laki dinegeri Indonesia dan menyadarkan masyarakat secara
keseluruhan bahwa pendidikan untuk perempuan sangat penting. Kebebasan
beraktifitas bagi perempuan perlu sebagai wadah untuk mengaktualisasi diri
mereka.
Tidak
hanya Kartini yang melakukan perubahan sosial untuk perempuan, di Minangkabau
kita juga mengenal Rahmah El-Yunussiyah, HR. Rasuna Said dan Rohana Kudus
sebagai perempuan yang keluar dari kebiasaan perempuan kebanyakan pada masa
itu. Mereka berjuang untuk memperlihatkan eksistensi perempuan dimata dunia.
Sehingga Rahmah El-Yunussiyah diberi gelar kehormatan dari Universitas Al-Azhar
mesir sebagai Syaikah. Karena beliau berhasil mendirikan pendidikan untuk
perempuan di minangkabau dengan konsep pesantren.
Keberadaan
perempuan tidak hanya diskriminasi dari segi pendidikan saja, perempuan dalam
kehidupan bermasyarakat juga dinomor duakan. Minangkabau dengan budaya
matrilineal, ternyata tidak mampu membendung dominasi dari laki-laki. Tidak
jarang kita melihat dalam aktifitas adat, perempuan hanya berperan sebagai
orang yang menghantarkan makanan dan duduk dibagian belakang. Tidak mampu
perempuan bersuara lantang ditengah forum-forum adat. Karena perempuan hanya
sebagai pemberi pertimbangan, bukan pengambilan keputusan. Semua keputusan
hanya keluar dari suara laki-laki yang dituakan pada kaumnya.
Sekalipun
pergeseran paradigma terhadap perempuan terjadi, namun sampai hari ini kita
masih sulit menemukan perempuan yang mau terlibat langsung dalam aktifitas
kemasyarakatan. Perempuan selalu berdalih urusan domestik menghambat kegiatan
mereka keluar. Jika pun mereka akan beraktifitas diluar, maka tantangan
besarnya adalah peran ganda atau double
bourden yang akan disandang oleh perempuan tersebut.
Disatu
sisi dia akan berperan sebagai ibu rumah tangga dengan tanggung jawab
domestiknya, disisi lain dia akan beraktifitas diluar rumah dengan tanggung
jawab sosial atau turut serta memenuhi kebutuhan finansial keluarga.
Memahami
peran gender ini lah yang perlu kita luruskan, karena peran gender ini
merupakan hasil konstruksi nyata dari masyarakat. Masyarakat yang menciptakan
pembedaan tugas antara perempuan dan laki-laki. Perempuan yang hanya bertugas
dirumah mengurusi urusan domestik dan laki-laki keluar rumah mencari nafkah.
Pada
era globalisasi perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki kesempatan untuk
mengaktualisasikan dirinya ditengah-tengah masyarakat. Baik itu pada segi
pendidikan, pekerjaan atau pun aktifitas sosial lainnya. Sehingga perlu adanya
kesepakatan baru didalam masyarakat terkait dengan peran laki-laki dan
perempuan.
Peran Perempuan Dalam Kacamata
Globalisasi
·
Partner
dalam rumah tangga
Prof. DR. Musda Mulia mengatakan bahwa,
“perempuan merupakan partner bagi
laki-laki dalam sebuah keluarga”. Karena laki-laki dan perempuan diciptakan
oleh Allah SWT, sebagai khalifah fil ard.
Tidak ada pembedaan secara khusus yang disampaikan oleh Allah didalak
Al-Qur’an terkait dengan peran perempuan dan laki-laki. Rasulullah pun
menjelaskan bahwa ia juga membantu istri-istrinya dalam urusan domestik,
sekalipun dia adalah seorang nabi.
Artinya, perempuan dalam bingkai rumah
tangga adalah partner bagi suaminya.
Ketika kita memandang relasi antara perempuan dan laki-laki disebuah keluarga
adalah “partner”, maka peran-peran
domestik tidak hanya menjadi kewajiban perempuan tetapi menjadi tugas berdua
suami dan istri. Begitu juga dengan pendidikan bagi anak, selama ini kita
dilenakan oleh hadist yang mengatakan bahwa perempuan merupakan madrasahtul ‘ula bagi anak-anak nya.
Sehingga terjadi kesalah pahaman, bahwa pendidikan anak adalah tugas istri dan
suami tidak banyak terlibat. Namun, hari ini dari berbagai hasil penelitian
menjelaskan bahwa pendidikan dari ayah sangat penting untuk tumbuh kembang
anak. Begitu juga dengan Rasulullah yang berperan untuk pendidikan
anak-anaknya.
Semua ini merupakan keseimbangan bagi
relasi antara perempuan dan laki-laki dirumah tangga. Karena ketika tugas-tugas
domestik dilakukan secara bersama-sama, maka akan terasa ringan. Jika pun
perempuan atau istri beraktifitas diluar rumah juga tidak akan memiliki beban
lebih, karena semua beban domestik menjadi tugas bersama.
·
Menjadi pemimpin untuk komunitasnya
Kepemimpinan
perempuan menjadi problema tersendiri ditengah-tengah masyarakat kita. Dimana
pemimpin perempuan dipandang sebagai suatu yang salah menurut agama dan sesuatu
yang dilarang. Sehingga kesempatan bagi perempuan untuk mededikasikan dirinya
pun sangat sempit.
Setiap
individu adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri. Perempuan
hari ini juga bisa menjadi pemimpin, minimal untuk komunitasnya. Kita bisa
lihat begitu banyak hari ini lahir organisasi-organisasi yang memberi label
dengan “perempuan”. Ini membuktikan bahwa perempuan memiliki kapasitas untuk
menjadi seorang pemimpin.
Dengan
lahir nya oraganisasi perempuan tersebut, perempuan semakin berkembang dan
melahirkan karya-karya nyata. Kita tidak bisa pungkiri bahwa Mega Wati Soekarno
Putri, merupakan perempuan yang berhasil mendedikasikan dirinya sebagai
pemimpin dinegeri ini. Risma sebagai Walikota Surabaya juga berhasil menjadi
pemimpin di wilayahnya. Semua itu kembali pada kesempatan dan kepercayaan
laki-laki bahwa perempuan juga bisa memimpin.
Menurut
Prof. DR. Musdah Mulia, konteks surat An-nisa yang mengatakan laki-laki adalah
pemimpin bagi perempuan itu berlaku dalam rumah tangga. Kalau lah laki-laki
harus menjadi pemimpin disemua lini, mengapa Aisyah istri Rasulullah pernah
memimpin perang? Semuanya kembali kepada kita, dan kembali kepada kapasitas
kita sebagai perempuan.
·
Agen of change di tengah masyarakat
Perempuan
juga merupakan agen perubahan ditengah masyarakat. Karena perempuan juga
berperan dalam proses perubahan sosial yang terjadi didalam masyarakat. Hari
ini banyak penggiat masayrakat berasal dari perempuan. Ekonomi kreatif pun
banyak bermunculan dari perempuan. Dimana aktifitas tersbeut mampu meningkatkan
semangat hidup perempuan dan menjadi orang yang berperan melakukan perubahan
bagi dirinya dan komunitas di mamsayrakatnya.
Pada
Majalah Kartini edisi bulan Agustus, salah satu artikel nya memberikan
apresiasi kepada 3 orang perempuan pejuang Hak Perempuan Adat di pertemuan PBB.
Artinya perempuan menjadi pionir ditengah-tengah arus globalisasi. Perempuan
berperan besar dalam menyikapi isu-isu global.
Referensi :
Qazan, shalah. 2001. Membangun gerakan
menuju pembebasan perempuan. Karangasem: Era Intermedia
Astuti, widi. 2013. Perempuan pejuang.
Bandung: Konstanta Publishing House
Tidak ada komentar:
Posting Komentar