Minggu, 23 April 2017

MELIRIK PERAN PEREMPUAN KEKINIAN


Perempuan Melawan Diskriminasi
Pada masayarakat dunia kita kenal dengan istilah gerakan feminis, gerakan ini muncul setelah revolusi industri di Prancis. Dimana perempuan menuntut kesetaraan gender dengan laki-laki dan melibatkan perempuan dalam politik. Gerakan ini terus bergulir sampai pada akhirnya lahirlah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan yang dikenal dengan CEDAW. CEDAW sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui undang-undang nomor 7 tahun1984.

Pada tahun 2000 lahir Millenium Development Goals (MDGs) yang tertuang dalam Deklarasi Milenium dan merupakan kesepakatan kepala negara dan 189 negara anggota PBB yang tertuang dalam.
Adapun tujuan dalam MDGs ini antara lain :
  1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan
  2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua
  3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
  4. Menurunkan angka kematian anak
  5. Meningkatkan kesehatan ibu
  6. Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan penyakit menular lainnya
  7. Memastikan kelestarian lingkungan hidup
  8. Mengembangkan mitra global untuk pembangunan
Tidak hanya sebatas itu, pada tahun 2000 juga dikeluarkan Instruksi Presiden terkait Pengarus Utamaan Gender dalam program pemerintah. Artinya pemerintah selalu terlibat dalam isu-isu global yang bersentuhan langsung dengan perempuan.
Gerakan-gerakan yang lahir tersbeut dan regulasi yang dihasilkan, menimbulkan pertanyaan sederhana. Apa yang terjadi selama ini terhadap perempuan? Mengapa PBB harus memasukan poin terkait gender dalam deklarasi milenium? Akan banyak pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang muncul difikiran kita.
Kesalahan Dalam Memandang Perempuan
Kita selama ini lupa bahwa, ada yang pemahaman yang keliru ketika kita memandang individu yang bernama “perempuan”. Selama ini perempuan dipandang sebelah mata atau hanya sebagai pelengkap dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan posisinya dipandang dibawah posisi laki-laki dan kemudian sangat rentan untuk mendapatkan diskriminasi dari laki-laki.
Budaya patriakhi membuat perempuan menjadi second line ditengah-tengah masyarakat. Masyarakat selalu memberikan steorotype, bahwa perempuan harus mengurus rumah tangga, memasak didapur, mengurus anak dirumah, mencuci pakaian dan melayani suami. Semua urusan domestik merupakan tugas dan tanggung jawab bagi perempuan. Dahulu perempuan hanya fokus dirumah saja, tidak ada kesempatan dan waktu bagi perempuan untuk beraktifitas diluar rumah. Karena dahulu perempuan yang bekerja diluar rumah diberikan label sebagai “perempuan yang tidak baik” atau “perempuan yang tidak taat pada suami”.
Kita juga bisa lihat pada zaman sebelum kemerdekaan, bagaimana perempuan disiksa dan tidak diperlakukan sebagai manusia oleh laki-laki. Hal kecil saja, perkara pendidikan untuk perempuan. Tidak henti-hentinya R.A Kartini menyuarakan bahwa pendidikan bagi perempuan penting. Kartini mengalami hal yang serupa, dimana dia menjadi perempuan yang dibungkam cita-citanya. Kartini hanya bersekolah sampai umur 12 tahun dan kemudian dia dipingit dirumah. Kemudia Kartini dinikahkan oleh orang tuanya dengan laki-laki yang sudah memiliki istri. Untuk mengisi hari-harinya Kartini menjaling hubungan korespondensi dengan teman-temannya di negeri Belanda. Kartini sangat tertarik dengan kemajuan perempuan dibelanda dan benua eropa. Sehingga dia ingin mewujudkan sekolah untuk perempuan di Indonesia. Keinginnan Kartini ini didukung oleh suaminya dan lahirlah sekolah perempuan pertama di rembang.
Gerakan emansipasi wanita yang digaungkan oleh kartini ini lah yang kemudian membuka wawasan laki-laki dinegeri Indonesia dan menyadarkan masyarakat secara keseluruhan bahwa pendidikan untuk perempuan sangat penting. Kebebasan beraktifitas bagi perempuan perlu sebagai wadah untuk mengaktualisasi diri mereka.
Tidak hanya Kartini yang melakukan perubahan sosial untuk perempuan, di Minangkabau kita juga mengenal Rahmah El-Yunussiyah, HR. Rasuna Said dan Rohana Kudus sebagai perempuan yang keluar dari kebiasaan perempuan kebanyakan pada masa itu. Mereka berjuang untuk memperlihatkan eksistensi perempuan dimata dunia. Sehingga Rahmah El-Yunussiyah diberi gelar kehormatan dari Universitas Al-Azhar mesir sebagai Syaikah. Karena beliau berhasil mendirikan pendidikan untuk perempuan di minangkabau dengan konsep pesantren.
Keberadaan perempuan tidak hanya diskriminasi dari segi pendidikan saja, perempuan dalam kehidupan bermasyarakat juga dinomor duakan. Minangkabau dengan budaya matrilineal, ternyata tidak mampu membendung dominasi dari laki-laki. Tidak jarang kita melihat dalam aktifitas adat, perempuan hanya berperan sebagai orang yang menghantarkan makanan dan duduk dibagian belakang. Tidak mampu perempuan bersuara lantang ditengah forum-forum adat. Karena perempuan hanya sebagai pemberi pertimbangan, bukan pengambilan keputusan. Semua keputusan hanya keluar dari suara laki-laki yang dituakan pada kaumnya.
Sekalipun pergeseran paradigma terhadap perempuan terjadi, namun sampai hari ini kita masih sulit menemukan perempuan yang mau terlibat langsung dalam aktifitas kemasyarakatan. Perempuan selalu berdalih urusan domestik menghambat kegiatan mereka keluar. Jika pun mereka akan beraktifitas diluar, maka tantangan besarnya adalah peran ganda atau double bourden yang akan disandang oleh perempuan tersebut.
Disatu sisi dia akan berperan sebagai ibu rumah tangga dengan tanggung jawab domestiknya, disisi lain dia akan beraktifitas diluar rumah dengan tanggung jawab sosial atau turut serta memenuhi kebutuhan finansial keluarga.
Memahami peran gender ini lah yang perlu kita luruskan, karena peran gender ini merupakan hasil konstruksi nyata dari masyarakat. Masyarakat yang menciptakan pembedaan tugas antara perempuan dan laki-laki. Perempuan yang hanya bertugas dirumah mengurusi urusan domestik dan laki-laki keluar rumah mencari nafkah.
Pada era globalisasi perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya ditengah-tengah masyarakat. Baik itu pada segi pendidikan, pekerjaan atau pun aktifitas sosial lainnya. Sehingga perlu adanya kesepakatan baru didalam masyarakat terkait dengan peran laki-laki dan perempuan.
Peran Perempuan Dalam Kacamata Globalisasi
·         Partner dalam rumah tangga
Prof. DR. Musda Mulia mengatakan bahwa, “perempuan merupakan partner bagi laki-laki dalam sebuah keluarga”. Karena laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah SWT, sebagai khalifah fil ard. Tidak ada pembedaan secara khusus yang disampaikan oleh Allah didalak Al-Qur’an terkait dengan peran perempuan dan laki-laki. Rasulullah pun menjelaskan bahwa ia juga membantu istri-istrinya dalam urusan domestik, sekalipun dia adalah seorang nabi.
Artinya, perempuan dalam bingkai rumah tangga adalah partner bagi suaminya. Ketika kita memandang relasi antara perempuan dan laki-laki disebuah keluarga adalah “partner”, maka peran-peran domestik tidak hanya menjadi kewajiban perempuan tetapi menjadi tugas berdua suami dan istri. Begitu juga dengan pendidikan bagi anak, selama ini kita dilenakan oleh hadist yang mengatakan bahwa perempuan merupakan madrasahtul ‘ula bagi anak-anak nya. Sehingga terjadi kesalah pahaman, bahwa pendidikan anak adalah tugas istri dan suami tidak banyak terlibat. Namun, hari ini dari berbagai hasil penelitian menjelaskan bahwa pendidikan dari ayah sangat penting untuk tumbuh kembang anak. Begitu juga dengan Rasulullah yang berperan untuk pendidikan anak-anaknya.
Semua ini merupakan keseimbangan bagi relasi antara perempuan dan laki-laki dirumah tangga. Karena ketika tugas-tugas domestik dilakukan secara bersama-sama, maka akan terasa ringan. Jika pun perempuan atau istri beraktifitas diluar rumah juga tidak akan memiliki beban lebih, karena semua beban domestik menjadi tugas bersama.  
·         Menjadi pemimpin untuk komunitasnya
Kepemimpinan perempuan menjadi problema tersendiri ditengah-tengah masyarakat kita. Dimana pemimpin perempuan dipandang sebagai suatu yang salah menurut agama dan sesuatu yang dilarang. Sehingga kesempatan bagi perempuan untuk mededikasikan dirinya pun sangat sempit.
Setiap individu adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri. Perempuan hari ini juga bisa menjadi pemimpin, minimal untuk komunitasnya. Kita bisa lihat begitu banyak hari ini lahir organisasi-organisasi yang memberi label dengan “perempuan”. Ini membuktikan bahwa perempuan memiliki kapasitas untuk menjadi seorang pemimpin.
Dengan lahir nya oraganisasi perempuan tersebut, perempuan semakin berkembang dan melahirkan karya-karya nyata. Kita tidak bisa pungkiri bahwa Mega Wati Soekarno Putri, merupakan perempuan yang berhasil mendedikasikan dirinya sebagai pemimpin dinegeri ini. Risma sebagai Walikota Surabaya juga berhasil menjadi pemimpin di wilayahnya. Semua itu kembali pada kesempatan dan kepercayaan laki-laki bahwa perempuan juga bisa memimpin.
Menurut Prof. DR. Musdah Mulia, konteks surat An-nisa yang mengatakan laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan itu berlaku dalam rumah tangga. Kalau lah laki-laki harus menjadi pemimpin disemua lini, mengapa Aisyah istri Rasulullah pernah memimpin perang? Semuanya kembali kepada kita, dan kembali kepada kapasitas kita sebagai perempuan.


·         Agen of change di tengah masyarakat
Perempuan juga merupakan agen perubahan ditengah masyarakat. Karena perempuan juga berperan dalam proses perubahan sosial yang terjadi didalam masyarakat. Hari ini banyak penggiat masayrakat berasal dari perempuan. Ekonomi kreatif pun banyak bermunculan dari perempuan. Dimana aktifitas tersbeut mampu meningkatkan semangat hidup perempuan dan menjadi orang yang berperan melakukan perubahan bagi dirinya dan komunitas di mamsayrakatnya.
Pada Majalah Kartini edisi bulan Agustus, salah satu artikel nya memberikan apresiasi kepada 3 orang perempuan pejuang Hak Perempuan Adat di pertemuan PBB. Artinya perempuan menjadi pionir ditengah-tengah arus globalisasi. Perempuan berperan besar dalam menyikapi isu-isu global.


Referensi :
Qazan, shalah. 2001. Membangun gerakan menuju pembebasan perempuan. Karangasem: Era Intermedia

Astuti, widi. 2013. Perempuan pejuang. Bandung: Konstanta Publishing House 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar