Senin, 13 Mei 2013

MENCERABUT HAK ANAK PENDIDIKAN PEREMPUAN



Siapa yang tidak kenal dengan sosok Kartini. Kartini merupakan salah satu pahlawan nasional yang concern untuk mengubah perspektif masyarakat Indonesia terkait hak pendidikan untuk perempuan. Perjuangannya diabadikan kedalam salah satu lagu nasional. . Beliau bercita-cita sekolah ke eropa, namun dilarang oleh ayahnya dengan alasan dia adalah anak perempuan. Sehingga, Kartini hanya mengecap pendidikan sampai usia 12 tahun di ELS (Europese Lagere School). Setelah itu Kartini dipingit oleh ayahnya dan aktif menulis dengan teman-teman korespondensinya di belanda. Kartini selalau menjaga interaksi dan mengakses informasi dari teman-temanya di eropa, soal pergerakan perempuan.
Kartini melihat perjuangan perempuan untuk memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi, dengan membuat satu sekolah khusus untuk perempuan pada usianya yang tergolong muda yaitu 24 tahun. Kartini menjadi pelopor untuk menyuarakan pendidikan bagi kaum perempuan. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Kartini diberi kebebasan serta dukungan mendirikan sekolah perempuan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang oleh suaminya. Perjuangan Kartini tidak sia-sia, masyarakat menyadari pentingnya pendidikan untuk perempuan setelah Kartini meninggal dunia. Kemudian pada tahun 1912 didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Sampai hari ini Kartini dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan.
Di Minangkabau, kita juga punya pejuang untuk pendidikan perempuan yaitu Rahma El Yunusiah. Pada tahun1923 membuat sekolah khusus untuk perempuan di Padang Panjang, sekarang kita kenal dengan Pondok Pesantren Diniyah Putri. Hal ini beranjak dari keresahan Rahma melihat  kondisi kaum perempuan yang jauh tertinggal dari kaum laki-laki pada bidang pendidikan khususnya pendidikan agama. Sehingga Rahma berinisiatif mendirikan sekolah untuk perempuan, pada awalnya sekolah ini memiliki murid 71 orang dari ibu-ibu muda. Sekolah ini melahirkan perempuan cerdas, sesuai dengan cita-cita Rahma untuk mengeluarkan perempuan dari lingkaran kebodohan. Rahmah telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya, yaitu 46 tahun, untuk mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikan. Rahma Jauh lebih lama dari Kartini, barada dalam wadah perjuangan pendidikan untuk kaum perempuan. Pada tahun 1957 Rahma diberikan gelar sebagai Syaikhah oleh Universitas Al-Azhar di Cairo.
Cerita kejayaan masa lalu membuat kita terbuai dan kadang kala lupa arah soal perjuangan pergerakan perempuan. Salah satunya perjuangan perempuan dalam mendapatkan hak pendidikan. Berganti waktu, berganti zaman maka berganti juga persoalan yang kita hadapi. Pada masa sebelum kemerdekaan, perjuangan Kartini dan Rahma dalam menyuarakan pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan  merupakan hal yang sangat berani. Karena sosial kultural masyarakat dikala itu, perempuan tidak harus memiliki pendidikan tinggi dan mereka menjadi kelompok yang termarjinalkan ketika itu. Pergerakan mereka dikala itu bertujuan untuk merubah cara pandang masyarakat terkait pendidikan untuk perempuan. Hari ini kita yang sudah dibebaskan untuk menikmati buah perjuangan itu. Namun, tetap saja tidak semua perempuan bisa mengakses pendidikan itu secara leluasa. Terjadi diskriminasi dalam dunia pendidikan, sesuai dengan konteks persoalan yang terjadi didalam masyarakat.
TERCERABUTNYA HAK PENDIDIKAN ANAK PEREMPUAN
Akhir-akhir ini Pemberitaan di media banyak menyoroti kasus kekerasan seksual terhadap perempuan diantaranya : kasus perkosaan, percobaan perkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, dll. Nurani Perempuan WCC (NP-WCC) mencatat tahun 2012 terdapat 11 kasus dan sepanjang Januari–April 2013 NP-WCC mencatat 11 kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah pelajar perempuan. Beberapa kasus yang didampingi oleh NP-WCC, dimana siswi harus rela dikeluarkan dari sekolah. Sekolah mengemukakan berbagai macam alasan untuk kebaikan siswi tersebut, sehingga pilihannya adalah siswi keluar dari sekolah. Dibalik niat baik sekolah yang menyatakan bahwa keluar dari sekolah adalah jalan terbaik untuk siswi tersebut, sesungguhnya hak pendidikan siswi telah tercerabut demi nama baik sekolah yang harus dipertahankan.
Pada pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinia 4 jelas bahwa Pemerintah Negara Indonesia menyatakan terlibat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dilanjutkan pada pasal 31 UUD 1945 ayat 1, “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” dan ayat 2 “setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Negara mendorong setiap warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan, namun amanat Negara ini belum sempurna direalisasikan oleh pihak sekolah.  Indonesia juga telah meratifikasi Konveksi Hak Anak, salah satu hak dasar anak adalah pendidikan. Sampai hari ini Masih saja diskriminasi pada dunia pendidikan ini terjadi, khususnya diskriminasi bagi siswi korban kekerasan seksual.
Kita tidak menemukan lagi filosofi pendidikan “memanusiakan manusia”, kita hanya menemukan pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesuksesan dengan standar angka-angka yang dikeluarkan oleh sekolah dan segudang prestasi yang ingin dicapai oleh sekolah. Sekolah seakan-akan malu jika ada siswinya menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki dewasa. Siswi dipandang salah dan diberikan label negatif berdasarkan perspektif budaya patriakhi yang telah lama tertanam dalam masyarakat kita.
Kebijakan pihak sekolah yang mengeluarkan siswi dari sekolah merupakan bentuk sikap pengingkaran terhadap hak konstitusi dari anak perempuan untuk mendapatkan pendidikannya. Padahal pemerintah sibuk menyuarakan pendidikan berkarakter, pendidikan inklusif, pendidikan humanis dan lain sebagainya. Namun mereka lupa bahwa hak anak perempuan korban kekerasan seksual untuk mendapatkan pendidikan terabaikan. Anak perempuan korban kekerasan seksual berasal dari keluarga miskin, pendidikan menjadi salah satu cara untuk mereka melakukan perubahan taraf kehidupan. Ketika hak pendidikannya dicerabut oleh kekuasaan yang dimiliki oleh orang dewasa, maka akan terjadi pemiskinan bagi perempuan korban kekerasan seksual. Pemerintah yang seharusnya memberikan pemenuhan hak pendidikan anak perempuan, untuk melanjutkan cita-cita kehidupan yang ingin mereka capai. Kepedulian pemerintah terhadap hak pendidikan anak perempuan korban kekerasan seksual penting untuk kita tagih, agar tidak terjadi lagi pemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakatnya.
Pelajar perempuan merupakan generasi penerus perjuangan Kartini, Rahma El Yunusiah, Rohana Kudus, Cut Nyak dien, Siti Manggopoh dan sederet nama pejuang perempuan Indonesia lainya. Akan kah kita mencerabut hak pendidikkannya, karena mereka korban kekerasan seksual??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar