Kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” paling
sering kita dengar saat duduk dibangku sekolah. Katanya ini adalah semboyan
bangsa Indonesia dan
tertulis pada lambang negara Indonesia. Kalimat ini berasal dari bahasa Jawa
Kuno yang artinya adalah “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Saya
paling ingat ketika belajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN),
selalu ditanamkan kepada siswa-siswi terkait dengan Bhineka Tunggal Ika.
Walaupun saya sekolah di Sekolah Dasar Islam dan Sekolah Menengah Pertama
Islam, namun setiap pelajaran PPKN selalu diinternalisasi nilai-nilai
toleransi. Terutama persoalan kerukunan umat beragama.
Guru saya selalu menyampaikan bahwa
kita sebagai umat islam harus menghargai umat agama lain untuk beribadah dan
menjalankan ajaran agamanya. Beliau juga menjelaskan kita tidak boleh
mengganggu umat lain yang tengah menjalankan ibadahnya.
Namun apa yang kita temukan hari
ini??? Konflik horizontal berbau agama ini sering muncul dalam pemberitaan.
Mulai dari penyerangan rumah ibadah, terorisme dan terakhir kasus-kasus
penistaan agama. Sangat sedih melihat sikap anarkis yang menjual perjuangan
sebuah agama untuk menghancurkan nilai-nilai kebaikan dari agama itu sendiri.
Ketika kita lihat sejarah bagaiamana islam masuk ke Indonesia tentu kita akan
serentak menjawab, islam masuk dengan damai. Karena dipelajaran sejarah selalu
disampaikan hal itu.
Tetapi melihat kondisi indonesia
sekarang, seakan-akan nilai yang ditanamkan saat dibangku sekolah hilang
terkikis oleh rasa benci dan kemarahan. Pertanyaannya mengapa bisa kita benci
pada orang lain, karena berbeda pandangan terkait agama? Atau bagaimana kita
bisa marah, karena mereka bukan dari golongan yang sama?
Data dari SETARA Institut membuat
saya takjub. Hingga
pertengahan tahun 2018, tepatnya 30 Juni 2018, SETARA Institute mencatat 109 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
(KBB) dengan 136 tindakan. Peristiwa pelanggaran KBB
tersebar di 20 provinsi. Data dibawah ini juga membuat kita harus berfikir
ulang terkait kondisi sikap toleransi dan menghargai orang lain dengan latar
belakang agama atau aspek apapun.
Kita perlu menakar kembali rasa
toleransi didalam diri kita. Apakah ujaran kebencian ini membuat kita lebih
tenang dan bahagia menjalankan agama? Saya yakin dan percaya jawabannya adalah
tidak. Bagaimana akan tenang dan bahagia, kalau setiap waktu resah dengan
aktifitas kelompok lain. Kita terus memelihara rasa curiga yang luar biasa
kepada kelompok tertentu.
Minimnya rasa toleransi ini sangat
terasa semenjak pemilu serentak, isu agama seakan-akan paling seksi untuk
dijadikan bahan kampanye. Sehingga ini memperuncing perbedaan yang ada. Padahal
sikap seperti ini sangat tidak relevan, dipelihara dengan kondisi Indonesia
yang beragam.
Ketika saya menulis terkait bagaimana
menghargai dan hidup damai dengan agama yang lain. Akan ada celetukan dari
teman-teman bahawa saya liberal dan dengan label-label yang membuat kita tidak
nyaman. Padahal Rasulullah pun menghadapi orang-orang kafir dengan perilaku
yang baik. Saya teringat satu cerita bagaimana Rasulullah tidak membalas
perlakuan kaum kafir yang melemparkan kotoran hewan kepada beliau. Rasulullah
memberikan senyuman dan perlakuan baik kepada mereka. Memang kesabaran
Rasulullah diluar batas yang ada dibandingkan kita umatnya. Namun, itu pulalah
Allah memberikan contoh melalui Rasulullah dalam kehidupan dengan kondisi
manusia yang beragam.
Hal ini juga digambarkan dalam film
Ayat-Ayat Cinta 2, hidup ditengah keberagaman dan selalu dicacimaki oleh
tetangga yang beragama berbeda. Namun, dengan kesabaran tidak membalas dengan
cacian dan makian juga. Bahkan memebrikan bantuan kepada tetangga yang
kesusahan.
Rasa
empati, toleransi dan penghargaan ini lah yang seharusnya muncul dari ke
shalehan kita menjalankan ajaran agama. Sekarang kita perlu merenungkan
kembali, sejauh mana kita sudah mengaplikasikan nilai-nilai keislaman dalam
bentuk perilaku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar