Kamis, 23 Agustus 2018

MENAKAR KEMBALI RASA TOLERANSI DIDALAM DIRI


Kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” paling sering kita dengar saat duduk dibangku sekolah. Katanya ini adalah semboyan bangsa Indonesia dan tertulis pada lambang negara Indonesia. Kalimat ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Saya paling ingat ketika belajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), selalu ditanamkan kepada siswa-siswi terkait dengan Bhineka Tunggal Ika. Walaupun saya sekolah di Sekolah Dasar Islam dan Sekolah Menengah Pertama Islam, namun setiap pelajaran PPKN selalu diinternalisasi nilai-nilai toleransi. Terutama persoalan kerukunan umat beragama. 
 
Guru saya selalu menyampaikan bahwa kita sebagai umat islam harus menghargai umat agama lain untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya. Beliau juga menjelaskan kita tidak boleh mengganggu umat lain yang tengah menjalankan ibadahnya. 

Namun apa yang kita temukan hari ini??? Konflik horizontal berbau agama ini sering muncul dalam pemberitaan. Mulai dari penyerangan rumah ibadah, terorisme dan terakhir kasus-kasus penistaan agama. Sangat sedih melihat sikap anarkis yang menjual perjuangan sebuah agama untuk menghancurkan nilai-nilai kebaikan dari agama itu sendiri. Ketika kita lihat sejarah bagaiamana islam masuk ke Indonesia tentu kita akan serentak menjawab, islam masuk dengan damai. Karena dipelajaran sejarah selalu disampaikan hal itu.

Tetapi melihat kondisi indonesia sekarang, seakan-akan nilai yang ditanamkan saat dibangku sekolah hilang terkikis oleh rasa benci dan kemarahan. Pertanyaannya mengapa bisa kita benci pada orang lain, karena berbeda pandangan terkait agama? Atau bagaimana kita bisa marah, karena mereka bukan dari golongan yang sama?

Data dari SETARA Institut membuat saya takjub. Hingga pertengahan tahun 2018, tepatnya 30 Juni 2018, SETARA Institute mencatat 109 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) dengan 136 tindakan. Peristiwa pelanggaran KBB tersebar di 20 provinsi. Data dibawah ini juga membuat kita harus berfikir ulang terkait kondisi sikap toleransi dan menghargai orang lain dengan latar belakang agama atau aspek apapun.


Kita perlu menakar kembali rasa toleransi didalam diri kita. Apakah ujaran kebencian ini membuat kita lebih tenang dan bahagia menjalankan agama? Saya yakin dan percaya jawabannya adalah tidak. Bagaimana akan tenang dan bahagia, kalau setiap waktu resah dengan aktifitas kelompok lain. Kita terus memelihara rasa curiga yang luar biasa kepada kelompok tertentu. 

Minimnya rasa toleransi ini sangat terasa semenjak pemilu serentak, isu agama seakan-akan paling seksi untuk dijadikan bahan kampanye. Sehingga ini memperuncing perbedaan yang ada. Padahal sikap seperti ini sangat tidak relevan, dipelihara dengan kondisi Indonesia yang beragam. 

Ketika saya menulis terkait bagaimana menghargai dan hidup damai dengan agama yang lain. Akan ada celetukan dari teman-teman bahawa saya liberal dan dengan label-label yang membuat kita tidak nyaman. Padahal Rasulullah pun menghadapi orang-orang kafir dengan perilaku yang baik. Saya teringat satu cerita bagaimana Rasulullah tidak membalas perlakuan kaum kafir yang melemparkan kotoran hewan kepada beliau. Rasulullah memberikan senyuman dan perlakuan baik kepada mereka. Memang kesabaran Rasulullah diluar batas yang ada dibandingkan kita umatnya. Namun, itu pulalah Allah memberikan contoh melalui Rasulullah dalam kehidupan dengan kondisi manusia yang beragam. 

Hal ini juga digambarkan dalam film Ayat-Ayat Cinta 2, hidup ditengah keberagaman dan selalu dicacimaki oleh tetangga yang beragama berbeda. Namun, dengan kesabaran tidak membalas dengan cacian dan makian juga. Bahkan memebrikan bantuan kepada tetangga yang kesusahan. 

Rasa empati, toleransi dan penghargaan ini lah yang seharusnya muncul dari ke shalehan kita menjalankan ajaran agama. Sekarang kita perlu merenungkan kembali, sejauh mana kita sudah mengaplikasikan nilai-nilai keislaman dalam bentuk perilaku?     



Tidak ada komentar:

Posting Komentar