Minggu, 16 September 2018

Menulis Dengan Perspektif Mubaadalah

Sekitar akhir Bulan Agustus saya kontakan dengan Kak Alif dari Famm Indonesia. Kak Alif juga aktif di Fahmina Institut, Cirebon. Saat itu beliau menyampaikan bahwa akan ada kegiatan Fahmina untuk training penulis ulama perempuan. Kak Alif menawarkan untuk ikut dalam training penulis tersebut. 


Selang beberapa waktu setelah itu, saya dikontak oleh Mbak Ida selaku panitia acara. Ternyata ada beberapa syarat untuk training penulisan ini. Saya diminta mengirimkan 2 tulisan dengan memilih 2 tema, yaitu: relasi gender, keberagaman dan toleransi. Deadline pengumpulan tulisan akhir Agustus. Saya menyemangati dan memaksakan diri untuk menyelesaikan dua tulisan itu ditengah aktifitas yang padat. 

Tulisan saya kirim ke email yang dicantumkan Mbak Ida. Menunggu beberapa hari dan keluar pengumuman untuk kerangka acuan kegiatan serta. Konfirmasi kehadiran. Bersyukur nya kegiatan ini dilaksanakan di Padang dan saat akhir minggu. 

Saya datang terlambat saat itu, acara dimulai pukul 16.00WIB, saya baru bisa bergabung setelah isya dikelas. Kelas ini dipandu oleh fasilitator Mas Rosyid dan Ibu Silvia Hanani. Peserta diminta untuk menulis satu tulisan dengan perspektif mubaadalah seperti tulisan-tulisan yang sudah diterbitkan di portal mubaadalahnews

Jujur saya ngak bisa nulis lagi saat itu, tubuh meminta rehat setelah aktifitas padat dan perjalanan Pasaman-Padang. Saya malam itu langsung tidur dikamar. 

Menulis saya lakukan setelah subuh dan sarapan pagi. Ketika masuk kelas, ternyata sudah ada 16 orang yang setor tulisan ke Mas Rosyid. Saya beneran malu, sudahlah datang terlambat keacara. Setoran tulisan juga telat! Tulisan saya selesaikan saat coffe break dan istirahat siang. 

Pagi masuk kelas jam 08.00wib, kami disuguhi ilmu luar biasa dari Kiyai Faqih. Beliau Direktur Fahmina Institut dan dosen di IAIN Cirebon. Belajar tentang perpektif Mubaadalah untuk menterjemahkan teks Al-Qur'an dan Hadist. Perspektif ini menggunakan prinsip kesalingan. Bagaimana memaknai teks Al-Qur'an dan Hadist tersebut dari kedua belah (perempuan dan laki-laki) pihak. Saya suka dengan perspektif ini.



Ketika Al-Qur'an meminta laki-laki berbuat baik kepada istrinya, maka hal yang sebaliknya juga harus dilakukan oleh perempuan kepada suaminya. Ada prinsip kesalingan disana. 

Pembahasan perspektif Mubaadalah ini tidak cukup dengan waktu 4,5 jam. Setidaknya penjelasan Kiyai Faqih sudah membuat mata terbuka dan wawasan pun bertambah. Bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam. Tetapi karena pembacaan teks Al-Qur'an dan hadist selama ini tidak menggunakan prinsip kesalingan dan perspektif Mubaadalah, sehingga terkesan menguntungkan salah satu pihak saja. 

Setelah istirahat siang, kami belajar terkait media diera digital bersama Mbak Kalis. Saya benar-benar melongo dengan data-data yang disampaikan oleh Mbak Kalis terkait dengan media HOAX. Media online yang jelas-jelas berkonten ilmu dan pengetahuan itu seakan-akan tidak laku. Hal ini disebabkan begitu masifnya media online (portal berita, media sosial,dll) memberitakan informasi-informasi yang belum teruji kebenarannya. Semua itu dilakukan demi kepentingan sekelompok orang dan dipolitisi. 

Sehingga latar belakang itulah Fahmina Institut melalui portal mubaadalahnews mengedukasi masyarakat dengan perspektif mubaadalah tersebut memandang laki-laki dan perempuan dengan prinsip kesalingan. Tidak menuntut hanya pada perempuan saja, tetapi laki-laki juga melakukan hal yang sama. Begitu juga sebaliknya, sehingga tercipta kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan.

Saya berhasil membuat dua tulisan dengan tema relasi gender. Saya menceritakan tentang pernikahan seperti mainan bongkar pasang dan menyampaikan bahwa begitu sulitnya menjadi seorang perempuan yang dipoligami. Tulisan ini berangkat dari pengalaman pribadi. Saya menuliskan ini juga sebagai healing untuk diri sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar