Kota padang merupakan ibukota provinsi
Sumatera Barat dan sering kali menjadi icon dari ranah minang. Kota Padang
tidak terlihat seperti dulu dari segi kehidupan sosialnya, seperti yang
disampaikan ketika konfrensi pers (12/2) oleh Bapak Syuhendri Dt Siri Marajo
yang akrab dipanggil Datuak Siri ini persoalan moral di Kota Padang cukup
memprihatinkan terutama pada kelompok remaja. Beliau cukup menyayangkan kondisi
sosial remaja Kota Padang yang terperosok jauh dari sebelumnya.
reedmore >>
reedmore >>
Perilaku remaja di Kota Padang
menunjukan gejala yang memprihatinkan, terbukti dengan data dan fakta yang
menunjukan hampir setiap pelanggaran moral dan etika serta aturan – aturan
lainnya dilakoni oleh remaja. Persoalan kesopan remaja yang mulai jauh dari
nilai-nilai budaya minangkabau, tawuran antar remaja yang hampir setiap minggu
terjadi, pergaulan remaja yang mulai bebas, tingginya tinggkat remaja di Kota
Padang yang terlibat mengkonsumsi narkoba, dan berbagai persoalan lain yang
muncul bergantian.
Remaja merupakan kelompok yang secara
sosial adalah kelompok yang sedang berproses untuk menemukan kedudukan
sosialnya dan mencari jati diri. Sering kali remaja dimaknai kelompok yang
labil (red) oleh masyarakat. Ketika mereka berada pada kondisi yang labil,
sehingga mereka selalu mencoba untuk mencari hal – hal yang ingin mereka
ketahui dan lakukan. Tidak heran, hari ini banyak orang menilai remaja adalah
kelompok yang jauh dari nilai – nilai normatif masyarakatnya. Karena memang, mereka
mulai dibebaskan untuk mencari dan menemui apa yang menjadi tanda tanya bagi
mereka. Hal yang demikian disebabkan oleh ketidak pedulian orang – orang dewasa
yang ada dilingkungan sekitarnya, ujar Dt. Siri Marajo.
Fenomena perilaku remaja mulai meresahkan
setiap elemen masyarakat, hal yang paling heboh belakangan ini adalah ketika
remaja merayakan Valentine Day. Ini
menjadi tamparan hebat bagi kita semua, dimana valentine yang notabene nya
bukan budaya orang timur, namun remaja kita hari ini ikut – ikutan
merayakannya. Banyak hal yang mereka lakukan untuk merayakannya, diantara nya
adalah acara tukar – tukar kado dengan pasangan, hangout bersama teman, bahkan sampai terjerumus dalam free sex. Hal yang demikian sudah tidak
menjadi hal yang aneh lagi, karena setiap tahunnya sering kali momen valentine
menjadi moment untuk mengungkapkan kasih sayah sekaligus pembuktiannya akan hal
itu. Sebagaimana yang diberitakan oleh Padang Ekspres (Kamis, 16/02/2012),
mengenai razia yang dilakukan di Kota Bukittinggi pada saat malam Valentine.
Razia tersebut, menjaring 17 orang yang sedang berada di kamar salah satu
hotel.
Hal ini, baru pada ajang perayaan valentine day. Untuk perayaan tahun
baru, kita akan menemukan fenomena menarik lainnya. Remaja akan berbondong – bondong
mencari tempat untuk merayakannya, tempat – tempat wisata berubah menjadi
lautan manusia. Jam Gadang Bukittinggi menjadi tempat utama yang akan di
kunjungi oleh khalayak. Semua orang, sibuk dengan pasangannya masing – masing.
Tidak berjalan lagi yang nama nya sanksi moral ketika anak perempuan yang masih
sibuk menunggu pertukaran waktu itu.
Tempat – tempat wisata pun menjadi
salah satu kunjungan untuk berbuat maksiat, misalnya pantai purus padang.
Disana menyediakan tempat wisata dengan fasilitas yang cukup mendukung
terjadinya maksiat. Tidak sedikit remaja yang datang mengunjungi tempat
tersebut, mereka tidak malu lagi melakukan hal – hal yang melanggar norma agama
didepan umum. Hal yang tabu bagi orang tua kita dahulu, sekarang menjadi hal
yang sangat luar biasa longgarnya.
Kita pun sering kali menemukan,
nilai-nilai kesopanan yang mulai menispis ditengah – tengah masyarakat kita.
Seperti yang disampaikan oleh Dt. Siri Marajo, persoalan kesopanan dan moral
menjadi tantangan besar. Dt. Siri Marajo, yang merupakan penggiat di Teater
Noktah ini menjelaskan bagaimana degradasi moral itu terus terjadi. Menurut bapak
tiga orang anak ini, persoalan moral remaja hari ini harus menjadi tanggung
jawab kita semua, terutama orang tua. Karena bagi beliau, orang tua memiliki
kendali yang lebih kuat kepada anak dibandingkan dengan mamaknya. Kondisi ini,
diperjelas bahwa adanya pergeseran pemaknaan dari keluarga inti. Hari ini,
semua hal yang terjadi didalam keluarga inti menjadi rahasia di keluarga inti
tersebut dan kemudian peran – peran keluarga luas termasuk mamak menjadi
semakin kabur untuk kemenakannya.
Dt Siri Marajo, mengakui bahwa untuk
saat ini kita tidak mudah saja menegur kemenakan yang berbuat salah menurut
pandangan kita. Karena ketika kita menegurnya, maka orang tua nya akan memaknai
hal yang lain dan tidak suka dengan hal yang demikian. Anak dipangku, kamanakan dibimbiang hanya menjadi kamuflase saja
untuk saat ini ditengah – tengah masayrakat minangkabau. Mamak akan berperan
ketika ada perhelatan yang bersinggungan dengan adat saja, padahal sesungguhnya
banyak hal yang harus dilakukan oleh mamak demi berjalannya nilai – nilai adat
minangkabau yang telah ideal ini.
Pergeseran makna keluarga inti
mengakibatkan, bergesernya pemaknaan dari peran mamak dan keluarga luas. Urusan
anak, menjadi tanggung jawab penuh kelurga inti. Namun, dalam pelaksanaannya,
keluarga inti pun seringkali tidak peduli akan anak tersebut bahkan terjadi
jarak antara orang tua dan anak. Kasih sayang, hanya sebatas kata – kata saja, dimana
orang tua sibuk dengan aktifitas nya dan anakpun dipercayai kepada sekolah
untuk pendidikannya. Fungsi – fungsi keluarga pun tercerabut, seiring
berjalannya waktu dan semakin berkembangnya dunia pendidikan. Dt. Siri Marajo
yang berasal dari Balingka Kab. Agam ini menyampaikan, bahwa keluarga inti juga
sering lupa menanamkan nilai – nilai adat kepada anak. Sehingga wajar saja hari
ini banyak dari anak yang tidak paham dengan aturan adat minangkabau. Pelajaran
Budaya Alam Minangkabau (BAM) disekolah pun hanya sebatas
bagaimana sejarah dari minangkabau tersebut lahir dan berbagai upacara adat
serta pakaian adat yang digunakan.
Dt. Siri Marajo yang jebolan Institute
Seni Indonesia Jogjakarta ini menilai, bahwa pelajaran BAM yang terdapat di
sekolah dasar dan Menengah Pertama ini sebatas kurikulum hayalan. Dimana ketika
anak – anak disuguhkan pelajaran ini, anak diajak untuk berfikir sebatas konsep
saja. Anak tidak pernah diajarkan secara kongkrit bagaimana realisasi dari
aturan – aturan adat tersebut, atau setidak – tidaknya bagaimana norma kesopan
berjalan di ranah minang. Hal yang demikian tidak didapatkan oleh anak dibangku
sekolah, kemudian anak juga tidak mendapatkannya di rumah dan hari ini peran
mamak pun semakin kabur. Lantas, bagaimana kita menyikapi degradasi moral ini
seiring dengan derasnya arus globalisasi?
Semakin tergerusnya budaya minang,
mengakibatkan kita mulai kehilangan identitas kultural kita. Salah satu bentuk
kita mulai kehilangan identitas kultural adalah banyaknya diantara anak kemenakan
di minangkabau ini yang awam dengan bahasa petatah petitih dan mulai malu
menggunakan bahasa minang sebagai bahasa ibu. Kecendrungan remaja zaman
sekarang, lebih suka menggunakan bahasa gaul dibanding menggunakan bahasa
minang. Mereka merasa tidak up to date ketika
mereka tidak menggunakan bahasa gaul tersebut. Sehigga hal yang demikian
mengakibatkan, bahasa minang jauh dari keseharian anak – anak, bahkan
dikeluarga sendiri orang tua cendrung menggunakan bahasa indonesia dengan anak
– anak nya dibanding bahasa ibu.
Persoalan penggunaan pakaian pun
menjadi kegamangan kita hari ini, untuk trend
fashion para remaja tidak berkaca pada kearifan lokal lagi. Tapi mereka
cendrung mengadopsi bagaimana trend
fashion kepada tokoh – tokoh idola atau majalah model yang bisa diakses
dipasaran atau media online. Mereka lupa dengan identitas minangkabaunya,
mereka lebih senang menggunakan pakaian yang sedikit lebih terbuka dan jauh
dari norma kesopanan masyarakat minang.
Ketika kita menanyakan bagaimana
pandangan seorang mamak terkait hal ini, Dt. Siri Marajo pun lantas bicara
bahwa hal ini tidak mampu di-counter oleh
mamak saja. Namun harus ada kerjasama yang cukup kongkrit dengan setiap elemen
masayarakat terutama orang tua selaku keluarga inti dalam proses transformasi
nilai – nilai dan norma adat kepada anak. Sehingga anak kemanakan kita tidak
malu lagi menggunakan identitas kulturalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar