Sabtu, 18 Februari 2012

JANGAN MALU DENGAN IDENTITAS KULTURAL KITA



Kota padang merupakan ibukota provinsi Sumatera Barat dan sering kali menjadi icon dari ranah minang. Kota Padang tidak terlihat seperti dulu dari segi kehidupan sosialnya, seperti yang disampaikan ketika konfrensi pers (12/2) oleh Bapak Syuhendri Dt Siri Marajo yang akrab dipanggil Datuak Siri ini persoalan moral di Kota Padang cukup memprihatinkan terutama pada kelompok remaja. Beliau cukup menyayangkan kondisi sosial remaja Kota Padang yang terperosok jauh dari sebelumnya.

reedmore >>


Perilaku remaja di Kota Padang menunjukan gejala yang memprihatinkan, terbukti dengan data dan fakta yang menunjukan hampir setiap pelanggaran moral dan etika serta aturan – aturan lainnya dilakoni oleh remaja. Persoalan kesopan remaja yang mulai jauh dari nilai-nilai budaya minangkabau, tawuran antar remaja yang hampir setiap minggu terjadi, pergaulan remaja yang mulai bebas, tingginya tinggkat remaja di Kota Padang yang terlibat mengkonsumsi narkoba, dan berbagai persoalan lain yang muncul bergantian.
Remaja merupakan kelompok yang secara sosial adalah kelompok yang sedang berproses untuk menemukan kedudukan sosialnya dan mencari jati diri. Sering kali remaja dimaknai kelompok yang labil (red) oleh masyarakat. Ketika mereka berada pada kondisi yang labil, sehingga mereka selalu mencoba untuk mencari hal – hal yang ingin mereka ketahui dan lakukan. Tidak heran, hari ini banyak orang menilai remaja adalah kelompok yang jauh dari nilai – nilai normatif masyarakatnya. Karena memang, mereka mulai dibebaskan untuk mencari dan menemui apa yang menjadi tanda tanya bagi mereka. Hal yang demikian disebabkan oleh ketidak pedulian orang – orang dewasa yang ada dilingkungan sekitarnya, ujar Dt. Siri Marajo.
Fenomena perilaku remaja mulai meresahkan setiap elemen masyarakat, hal yang paling heboh belakangan ini adalah ketika remaja merayakan Valentine Day. Ini menjadi tamparan hebat bagi kita semua, dimana valentine yang notabene nya bukan budaya orang timur, namun remaja kita hari ini ikut – ikutan merayakannya. Banyak hal yang mereka lakukan untuk merayakannya, diantara nya adalah acara tukar – tukar kado dengan pasangan, hangout bersama teman, bahkan sampai terjerumus dalam free sex. Hal yang demikian sudah tidak menjadi hal yang aneh lagi, karena setiap tahunnya sering kali momen valentine menjadi moment untuk mengungkapkan kasih sayah sekaligus pembuktiannya akan hal itu. Sebagaimana yang diberitakan oleh Padang Ekspres (Kamis, 16/02/2012), mengenai razia yang dilakukan di Kota Bukittinggi pada saat malam Valentine. Razia tersebut, menjaring 17 orang yang sedang berada di kamar salah satu hotel.
Hal ini, baru pada ajang perayaan valentine day. Untuk perayaan tahun baru, kita akan menemukan fenomena menarik lainnya. Remaja akan berbondong – bondong mencari tempat untuk merayakannya, tempat – tempat wisata berubah menjadi lautan manusia. Jam Gadang Bukittinggi menjadi tempat utama yang akan di kunjungi oleh khalayak. Semua orang, sibuk dengan pasangannya masing – masing. Tidak berjalan lagi yang nama nya sanksi moral ketika anak perempuan yang masih sibuk menunggu pertukaran waktu itu.
Tempat – tempat wisata pun menjadi salah satu kunjungan untuk berbuat maksiat, misalnya pantai purus padang. Disana menyediakan tempat wisata dengan fasilitas yang cukup mendukung terjadinya maksiat. Tidak sedikit remaja yang datang mengunjungi tempat tersebut, mereka tidak malu lagi melakukan hal – hal yang melanggar norma agama didepan umum. Hal yang tabu bagi orang tua kita dahulu, sekarang menjadi hal yang sangat luar biasa longgarnya.
Kita pun sering kali menemukan, nilai-nilai kesopanan yang mulai menispis ditengah – tengah masyarakat kita. Seperti yang disampaikan oleh Dt. Siri Marajo, persoalan kesopanan dan moral menjadi tantangan besar. Dt. Siri Marajo, yang merupakan penggiat di Teater Noktah ini menjelaskan bagaimana degradasi moral itu terus terjadi. Menurut bapak tiga orang anak ini, persoalan moral remaja hari ini harus menjadi tanggung jawab kita semua, terutama orang tua. Karena bagi beliau, orang tua memiliki kendali yang lebih kuat kepada anak dibandingkan dengan mamaknya. Kondisi ini, diperjelas bahwa adanya pergeseran pemaknaan dari keluarga inti. Hari ini, semua hal yang terjadi didalam keluarga inti menjadi rahasia di keluarga inti tersebut dan kemudian peran – peran keluarga luas termasuk mamak menjadi semakin kabur untuk kemenakannya.
Dt Siri Marajo, mengakui bahwa untuk saat ini kita tidak mudah saja menegur kemenakan yang berbuat salah menurut pandangan kita. Karena ketika kita menegurnya, maka orang tua nya akan memaknai hal yang lain dan tidak suka dengan hal yang demikian. Anak dipangku, kamanakan dibimbiang hanya menjadi kamuflase saja untuk saat ini ditengah – tengah masayrakat minangkabau. Mamak akan berperan ketika ada perhelatan yang bersinggungan dengan adat saja, padahal sesungguhnya banyak hal yang harus dilakukan oleh mamak demi berjalannya nilai – nilai adat minangkabau yang telah ideal ini.
Pergeseran makna keluarga inti mengakibatkan, bergesernya pemaknaan dari peran mamak dan keluarga luas. Urusan anak, menjadi tanggung jawab penuh kelurga inti. Namun, dalam pelaksanaannya, keluarga inti pun seringkali tidak peduli akan anak tersebut bahkan terjadi jarak antara orang tua dan anak. Kasih sayang, hanya sebatas kata – kata saja, dimana orang tua sibuk dengan aktifitas nya dan anakpun dipercayai kepada sekolah untuk pendidikannya. Fungsi – fungsi keluarga pun tercerabut, seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya dunia pendidikan. Dt. Siri Marajo yang berasal dari Balingka Kab. Agam ini menyampaikan, bahwa keluarga inti juga sering lupa menanamkan nilai – nilai adat kepada anak. Sehingga wajar saja hari ini banyak dari anak yang tidak paham dengan aturan adat minangkabau. Pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM) disekolah pun hanya sebatas bagaimana sejarah dari minangkabau tersebut lahir dan berbagai upacara adat serta pakaian adat yang digunakan.
Dt. Siri Marajo yang jebolan Institute Seni Indonesia Jogjakarta ini menilai, bahwa pelajaran BAM yang terdapat di sekolah dasar dan Menengah Pertama ini sebatas kurikulum hayalan. Dimana ketika anak – anak disuguhkan pelajaran ini, anak diajak untuk berfikir sebatas konsep saja. Anak tidak pernah diajarkan secara kongkrit bagaimana realisasi dari aturan – aturan adat tersebut, atau setidak – tidaknya bagaimana norma kesopan berjalan di ranah minang. Hal yang demikian tidak didapatkan oleh anak dibangku sekolah, kemudian anak juga tidak mendapatkannya di rumah dan hari ini peran mamak pun semakin kabur. Lantas, bagaimana kita menyikapi degradasi moral ini seiring dengan derasnya arus globalisasi?
Semakin tergerusnya budaya minang, mengakibatkan kita mulai kehilangan identitas kultural kita. Salah satu bentuk kita mulai kehilangan identitas kultural adalah banyaknya diantara anak kemenakan di minangkabau ini yang awam dengan bahasa petatah petitih dan mulai malu menggunakan bahasa minang sebagai bahasa ibu. Kecendrungan remaja zaman sekarang, lebih suka menggunakan bahasa gaul dibanding menggunakan bahasa minang. Mereka merasa tidak up to date ketika mereka tidak menggunakan bahasa gaul tersebut. Sehigga hal yang demikian mengakibatkan, bahasa minang jauh dari keseharian anak – anak, bahkan dikeluarga sendiri orang tua cendrung menggunakan bahasa indonesia dengan anak – anak nya dibanding bahasa ibu.
Persoalan penggunaan pakaian pun menjadi kegamangan kita hari ini, untuk trend fashion para remaja tidak berkaca pada kearifan lokal lagi. Tapi mereka cendrung mengadopsi bagaimana trend fashion kepada tokoh – tokoh idola atau majalah model yang bisa diakses dipasaran atau media online. Mereka lupa dengan identitas minangkabaunya, mereka lebih senang menggunakan pakaian yang sedikit lebih terbuka dan jauh dari norma kesopanan masyarakat minang. 
Ketika kita menanyakan bagaimana pandangan seorang mamak terkait hal ini, Dt. Siri Marajo pun lantas bicara bahwa hal ini tidak mampu di-counter oleh mamak saja. Namun harus ada kerjasama yang cukup kongkrit dengan setiap elemen masayarakat terutama orang tua selaku keluarga inti dalam proses transformasi nilai – nilai dan norma adat kepada anak. Sehingga anak kemanakan kita tidak malu lagi menggunakan identitas kulturalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar