Dari
jaman sekolah sampai sekarang saya perempuan yang tidak pernah hanya diam
dirumah saja, terbiasa untuk beraktifitas di organisasi sehingga menggantarkan
saya sebagai aktifis perempuan. Bagi saya itu sebuah kebanggaan tersendiri,
karena terlahir dari keluarga broken home sehingga saya tidak pernah merasa
nyaman berada dirumah. Tetapi saya bisa berkiprah ditengah-tengah masyarakat
dengan nilai-nilai positif.
Masa
saya berstatus anak didalam keluarga tentu jauh berbeda dengan sekarang,
sebagai ibu satu orang anak yang masih berumur 7 bulan dan bekerja diranah
publik. Tidak ada cerita lagi soal kebebasan beraktifitas diluar rumah
sebagaimana biasanya. Saya juga mencoba membatasi diri beraktifitas diluar
rumah, agar tidak terlalu banyak kehilangan waktu bersama anak. Semua pemikiran
terasa penuh untuk anak, mulai dari bagaimana makan anak selama saya tinggal,
ASIP nya apakah cukup atau tidak, buah apa yang akan dia makan untuk snack nya
dan menu apa yang akan saya siapkan untuk esok hari. Belum lagi tumpukan
cucian, piring kotor, memasak, baju yang akan disetrika segunung dan kerjaan
kantor yang tidak ada hentinya. Hal yang paling bikin stres itu, ketika semua
pekerjaan harus diselesaikan segera dan anak bayi ini juga lagi demo akan perhatian
bunda nya. Lebih dramatisnya, bertepatan dengan jadwal PMS saya. Kejadian ini
benar-benar menguras emosi dan energi.
Ingin
teriak sebenarnya…… Ingin bilang,”Saya mau bebas…. Saya mau jalan-jalan… mau
makan diluar… mau ikut acara pelatihan…. Pokoknya ngak dirumah!!”.
Teriakan
sekeras apapun, kalau hanya didalam hati tetap aja ngak akan ada yang respon.
Dibicarakan dengan suami pun, pertimbangannya hanya satu yaitu “UANG”. Gimana
mau jalan-jalan kalau ngak ada uang, gimana mau pergi makan diluar kalau ngak
ada uang.
Padahal
ngak sesulit itu juga yah… Saya hanya butuh waktu untuk memanjakan diri sendiri
saja. Butuh waktu untuk sejenak rehat dari aktifitas “kerumahtanggaan”, karena
aktifitas itu terlihat sepele tapi butuh energi yang luar biasa apalagi saya
sebagai perempuan yang juga bekerja diranah publik. Rumah seperti kantor
pertama saya.
Saya
juga ngak minta jalan-jalannya ke Raja Ampat, jalan-jalan sore keliling dengan
motor saja itu sudah “me time” bagi saya. Kenapa?? Karena udah ngak dirumah
lagi, ada hal yang berbeda saya lihat selain keseharian dirumah dan kantor.
Jalan-jalan ini kan ngak butuh uang banyak?? Hanya bensin motor satu liter aja
dan itu sudah buat fikiran saya segar kembali. Hehehe
“Me
time” saya juga bisa dengan makan diluar rumah, sekedar jajanan dikaki lima pun
cukup bagi saya. Karena saya biasanya kalau sudah stres, suka makan banyak.
Jadi lebih gendutan kalau saya stres. Ada kepuasan tersendiri bagi saya, kalau
bisa makan diluar rumah. Setidaknya perut kenyang dan selera berganti. Hehehe….
Mengikuti
acara pelatihan atau saya yang jadi fasilitatornya, itu membuat hati saya
berbunga-bunga bahagia. Itu adalah waktu saya memanjakan diri saya dengan ilmu
dan pengetahuan. Mendapatkan kesempatan itu membuat saya lebih optimis untuk
menjalankan kehidupan dirumah. Terasa ada energi positif yang mengalir deras
didalam tubuh setelah acara pelatihan itu. Apalagi acaranya terkait dengan
pendidikan untuk perempuan dan anak. Saya menjadikan kegiatan itu sebagai “me
time”. Berbagi pengetahuan dengan orang lain, membuat kita menjadi lebih
bermanfaat. Respon balik dari orang lain dengan segala pengalaman hidupnya, membuat
saya semangat berkarya dan berkiprah dirumah untuk anak.
Menggunakan
gadget dan berselancar didunia maya adalah hal yang membuat saya bebas
berekspresi. Maka dari itu saya butuh waktu untuk “bebas online”. Punya anak
bayi yang mulai aktif ini, saya lebih hati-hati menggunakan gadget didekatnya.
Karena saya secara pribadi tidak mendukung penggunaan gadget bagi balita,
sementara dia melihat gadget selalu ingin mengambilnya. Sehingga perlu bagi
saya waktu yang bebas untuk sekedar chit-chat di WhatsApp tanpa gangguan dari
anak dan suami. Atau waktu bebas untuk saya mengisi blog, sekedar berbagi
tulisan dan cerita. Bagi saya dengan “bebas online” ini adalah “me time” nya saya sebagai “working mom”.
Bagi
saya “me time” tidak mesti mahal dan menguras waktu. Cukup dengan melakukan
kegiatan diatas, saya sudah berhasil memompa semangat saya untuk kembali berada
pada peran sebagai “ibu satu anak”.
************
Saya
diberi nama oleh orang tua Mittya Ziqroh, panggilan akrab Tya. Lahir pada
tanggal 21 Januari 1990 di Kota Payakumbuh, anak pertama dari pasangan Jonsmi
dan Emawati. Lulus kuliah dari Sosiologi Universitas Andalas pada tahun 2012.
Aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia dari tahun 2005. Sekarang aktif di
Lembaga Pusat Studi Nagari dan Forum
Aktifis Perempuan Muda (FAMM) Indonesia.
Tya
menikah pada umur 24 tahun dengan Syamsul Bahri. Pada umur 26 tahun tya
memiliki bayi mungil bernama Hamizan Asyam. Keluarga kecil ini hidup bersama di
Kabupaten Pasaman, satu-satu nya kabupaten yang dilewati jalur katulistiwa di
Sumatera Barat. Tya sudah terlibat dalam dua penulisan buku ontologi, PANDORA
dan MAHINA MASOHI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar