meluruskan makna Hari IBU
Meluruskan Sejarah Hari Ibu
Kamis, 22 Desember 2011
Sejarah Hari Ibu di Indonesia menunjukkan kegagahan sejarah karena
kelahirannya bersamaan dengan munculnya kebangkitan kesadaran kaum
perempuan. Tetapi, peringatan sejarah Hari Ibu selalu diselenggarakan
dengan kegiatan yang meremehkan makna awal atau asal-usulnya.
Remeh-temeh peringatan Hari Ibu yang jatuh tiap 22 Desember ditunjukkan
dengan dominannya kegiatan untuk mengapresiasi peran perempuan dalam
ranah domestik. Misalnya dalam sebuah keluarga, pada tanggal tersebut,
seorang ayah dan anak-anaknya berganti melakukan tindakan domestik
seperti masak, mencuci, belanja, bersih-bersih, dan kemudian memberikan
hadiah-hadiah untuk sang ibu.
Berbagai instansi juga
mengadakan peringatan dengan mengadakan acara seperti lomba memasak atau
lomba yang berisi perayaan peran domestik dari seorang perempuan
sebagai ibu. Pemaknaan semacam itu bahkan justru berkebalikan atau
bertentangan dengan makna kegiatan perempuan yang dilakukan pada tanggal
(22 Desember) yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu. Kenapa
bertentangan? Sebab pada tanggal itu yang terjadi adalah peristiwa
berkumpulnya berbagai organisasi perempuan dalam Kongres Perempuan, yang
diselenggarakan pada tanggal 22-25 Desember 1928.
Kongres ini
menandai munculnya kesadaran akan universalisasi peran perempuan yang
berarti munculnya kesadaran bahwa perempuan harus berperan bukan hanya
di dalam rumah tangga. Kongres ini mengundang perempuan untuk berperan
di ranah publik, terutama memberikan sumbangan pikiran, tenaga, dan
sumber daya yang dimilikinya, untuk mengatasi masalah-masalah sosial di
masyarakat.
Tentu saja, kesadaran akan peran sosial dan
politik kaum perempuan tidak muncul dengan sendirinya. Di akhir abad
ke-19, nama Kartini dikenal sebagai sosok bangsawan yang memiliki
keresahan terhadap kondisi perempuan pribumi yang tak bisa keluar rumah
dan tidak mendapatkan pendidikan. Berkomunikasi dengan para sahabatnya
di Barat, ketika gerakan perempuan telah bangkit, Kartini kemudian
merasa bahwa sudah saatnya perempuan diberikan pengetahuan melalui
sekolah dan tak boleh dibatasi geraknya seperti terjadi dalam budaya
pingit yang dialaminya.
Surat-surat Kartini yang di awal abad
ke-20 dikumpulkan dan diterbitkan dalam sebuah buku Habis Gelap
Terbitlah Terang (Door Duistermis tox Licht) memicu kesadaran baru,
mengiringi tumbuhnya berbagai macam organisasi di kalangan kaum
terpelajar dan kemudian juga tumbuh organisasi untuk kaum perempuan.
Kegiatan membangun sekolah untuk kaum perempuan juga banyak dilakukan,
oleh tokoh-tokoh masyarakat yang punya kepedulian, seperti dilakukan
oleh Dewi Sartika juga organisasi-organisasi perempuan yang ada.
Meskipun demikian, kesadaran tentang gerakan perempuan masih berkutat
pada isu sosial. Kesadaran akan peran perempuan dalam politik sudah
mulai muncul di kalangan organisasi radikal seperti Sarekat Rakyat (SR),
yang merupakan sempalan SI (Sarekat Islam). Beberapa aktivis perempuan
di SR memiliki kesadaran ideologi politik yang maju, bahkan percaya
bahwa pada dasarnya perjuangan memberikan hak-hak pada kaum perempuan
dan gerakan emansipasi hanya bisa dicapai dengan perjuangan politik
merebut kekuasaan dari penjajah Belanda.
Tak heran, setelah
terjadi pemberontakan terhadap Belanda pada 1926/1927, para aktivis
perempuan seperti Sukaesih dan Munasiah dari Jawa Barat, ikut dikirim ke
kamp konsentrasi belanda di Digul. Meskipun tak setenar Kartini, Dewi
Sartika, atau aktivis kelas menengah (priyayi) lainnya, aktivis
perempuan Kiri lebih keras bekerja dalam nuansa politik dan kerja-kerja
pengorganisasian massa rakyat terutama kaum perempuan.
Bahkan,
mereka adalah kelompok perempuan yang sangat maju dalam berpikirnya.
Munasiah, misalnya, dalam sebuah kongres perempuan di Semarang
menyatakan, "Wanita itu mataharinya rumah tangga, itu dulu! Tapi
sekarang perempuan jadi alatnya kapitalis. Padahal sejak zaman
Mojopahit, wanita sudah berjuang. Sekarang adanya pelacur, itu bukan
salahnya wanita. Tapi salahnya kapitalisme dan imperialisme!"
Itulah yang menyebabkan kenapa setahun kemudian, tepatnya 22-28 Desember
1928 gerakan perempuan menemukan momentumnya untuk melakukan
konsolidasi nasional. Berbagai organisasi perempuan dari berbagai daerah
dan dari berbagai warna ideologi membicarakan isu-isu untuk diangkat
bersama.
Kalau kita lihat, isunya memang masih belum secara
sepenuhnya meninggalkan isu domestik dan hubungan suami-istri, atau
posisi perempuan dalam keluarga. Isu antipoligami sangat menonjol,
ditambah dengan pentingnya pendidikan. Amat nyata bahwa kaum perempuan
bersepakat bahwa tugas perempuan bukan hanya untuk suami dan
anak-anaknya, namun juga harus meluas untuk memerankan diri ke
masyarakat.
Sejak Kongres Perempuan itu, berdirilah organisasi
perempuan yang bernama Isteri Sedar yang merupakan organisasi yang
memiliki karakter gerakan dan perspektif ideologis yang jauh lebih maju.
Didirikan pada awal tahun 1930 di Bandung, dengan ketua Soewarni
Djojoseputro, Isteri Sedar yakin bahwa untuk selanjutnya setiap
perempuan Indonesia harus berperan aktif dalam politik karena hanya
Indonesia yang dibebaskan oleh usaha berskala besar lelaki dan perempuan
yang bersatulah, yang cukup kuat memberikan kesamaan hak dan aksi bagi
setiap warga Indonesia.
Isteri Sedar mendeklarasikan dirinya
untuk mendukung pendidikan nasional yang berdasarkan kebutuhan kelas
pekerja dan prinsip kebebasan dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pengaruh gerakan perempuan di masa lalu tersebut mewariskan gerakan
pentingnya peran publik perempuan di masa kini.
Banyak
perempuan yang sudah bisa menjadi presiden, wakil rakyat di parlemen,
politisi, pengusaha, aktivis pemberdaya komunitas, peneliti, pendidik,
dan peran publik lainnya. Inilah yang harus kita tegaskan di Hari Ibu
yang selalu kita peringati pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya.
Banyak yang kurang memahami sejarah lahirnya Hari Ibu sebagai
kebangkitan gerakan perempuan. Dengan memahami asal-usul sejarahnya,
kita berharap akan ada makna yang lebih dalam bagi upaya meningkatkan
harkat dan martabat kaum perempuan yang hingga kini tampaknya masih
butuh pemberdayaan dan penyadaran dari kita semua.
Penulis adalah pekerja budaya, penulis, dan pendidik, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Islam Blitar (UIB).
KORAN JAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar