Rabu, 27 September 2017

Poligami : Wajah Kekerasan Terselubung

Kebahagian harus kita yang CIPTAkan!!!!!

Yah, kalimat itu yang terus aku dengungkan ketika sudut-sudut hati tengah remuk dengan situasi rumah yang kacau. Setiap saat bisa saja perang dunia terjadi antara pasangan itu. Pertengkaran itu sudah menjadi tontonan drama paling fenomenal dikala itu. Saya hanya membatin, apakah begini kalau kita berkeluarga? Menghancurkan barang-barang yang ada dirumah, menjadi puncak aksi perseteruan itu. 

Emosi yang keluar bersamaan dengan kekuatan fisik untuk memukul, menendang atau bahkan menghancurkan, jelas sudah semua barang pecah belah jadi beling-beling yang berserakan. Beling yang dengan mudah melukai tangan-tangan kecil ini. 




Saya sulit mengingat pertengkaran yang berujung pada kehancuran barang-barang itu. Karena tidak terjadi sekali atau dua kali. Namun, saya masih mengingat bagaimana saya terjaga pada malam itu karena suara pecahan kaca lemari. Ketakutan??? Itu pertanyaan bodoh!! Saya bukan ketakutan lagi, saya mengginggil dan segera menyelamatkan diri. Saya takut, karena terbayang pertengkaran itu akan mengorbankan kami lagi dan kami lagi. Saya dengan adik laki-laki selalu menjadi korban selanjutnya ketika pertengkaran itu terjadi. Membayangkan kaki laki-laki disebut papa itu mendarat dipunggung kami ketika tidur, membuat saya dan adik lari ke kamar adik perempuan mama. Kami mencari perlindungan disana, kami dipeluk layaknya pelukan seorang ibu yang menenagkan anaknya. Pelukan yang menyatakan bahwa kalian aman bersama saya. Pelukan yang menyatakan bahwa kita tidak akan apa-apa.

Isak tangis mama karena pertengkaran itu masih tergiang-giang sampai hari ini. Saya hanya menangis dan menyatakan didalam hati "Sampai Kapanpun Saya Tidak Pernah Memaafkan Perlakuan Papa Pada Kami!!!".

Dendam masa kecil dengan segala bentuk kekerasan itu, ternyata membuat saya hari ini perlu untuk melakukan terapi memulihkan trauma masa lalu itu. Poligami bagi saya adalah wajah kekerasan terselubung. Karena poligami itu, keluarga kami perlahan menuju kehancuran. Sekalipun saya, berhasil survive dan tidak terjebak pada jalan yang tidak benar. Namun, tetap diantara kami memilih jalan yang salah itu untuk menciptakan kebahagiannya sendiri.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar