Kadang berbicara soal realitas membuat kita sulit
mengungkapkan apa yang menjadi keharusan, karena selalu saja berbenturan dengan
kondisi yang ada. Realitas seperti apa yang hendak kita kemas? Mengemasnya pun
kita tidak mampu sesungguhnya. Hanya corak yang mampu kita berikan untuk sebuah
bahasa perubahan. Tidak banyak memang, namun ini menjadi bagian dari
persimpangan untuk berubah. Terkadang kita juga menjadi besar kepala dengan apa
yang telah kita lakukan. Ah.... semacam tuan tanah juga pada akhirnya.
Ingin memang menjalin hubungan erat dengan aksi
perubahan, namun tuntutan berkata lain. Entah memang terpenjara oleh
sistematika kehidupan masyarakat awam atau memang sengaja memenjara diri dalam
sangkar yang sudah ada. Alasan yang berkedok bahwa “hidup adalah pilihan”
menjadi tameng paling kuat untuk situasi seperti ini. Kalau lah Budi Oetomo
ketika muda tidak berani melakukan perlawanan terhadap penjajahan dengan
strategi perang yang berbeda dengan yang lainnya. Mungkin hari ini kita masih
berada dibawah kekuasaan belanda. Kita generasi “manja”, mungkin? Tapi jauh
dari pada itu, kita adalah generasi kuat sesungguhnya. Kita berperang tidak
dengan penjajah, kita berperang dengan penjajah dari dan dinegeri kita sendiri.
Agenda perubahan terbesar tidak lagi berada pada
tataran masyarakat sesungguhnya, tapi berada pada tataran elit. Elit yang harus
berubah. Mengubah paradigma berfikir, bukan lagi paradigma penguasa. Hari ini
elit memandang dirinya adalah penguasa dan memiliki otoritas atas apa yang
disandangnya. Elit tidak lagi menjadi penyambung lidah masyarakatnya, namun
menjadi aktor yang menindas masyakaratannya.
Payakumbuh, 12 November 2013